Merry Christmas yang terakhir

Kakiku menapak di sebuah dataran luas berwarna putih. Hamparan salju yang terlihat di setiap sudut mataku seakan memanggilku untuk kembali menikmati perayaan natal seperti tahun- tahun sebelumnya.

Tapi sayangnya, tidak tahun ini.

Tepat dibawah pohon natal raksasa di tengah kota ini, pohon yang menjadi saksi bisu transisi kehidupan kami setelah ini, aku memandang matanya dalam-dalam.

Mata hijau yang menyayatku secara tiba-tiba, setelah selama 4 tahun selalu kubawa dalam setiap mimpi indahku.
"Bagaimana bisa?" Aku berusaha tetap terlihat tegar, sebagaimana aku seperti biasanya. Namun aku tahu aku akan gagal, kalimat pertanyaan tadi pasti terdengar sangat lirih di telinganya.
"Aku tidak tahu. Mungkin memang cuma sampai sini." Balasnya. Sambil tersenyum ringan. Ya, sambil tersenyum. Setiap kalimat yang ia utarakan seperti berusaha menarik air mataku keluar dari tempatnya.

Tidak. Aku laki-laki. Aku harus tetap kuat.

Sembari kutenangkan pikiranku, kuperhatikan setiap sudut wajahnya. Pipi bulat merah yang selalu kucubit selama 4 tahun ini. Poni samping yang tidak pernah berubah. Dan syal biru yang susah payah menutupi leher jenjangnya. Semuanya tak berubah setelah selama ini. Tapi, perasaannya?
"Aku memang salah ga pernah mengatakannya. Tapi, inilah yang terjadi, Darren."
Darren katanya? Bahkan dia tidak lagi memanggilku 'hun' sebelum kita resmi putus?
Aku geram. Aku mengangkat kepalaku, dan menemukan bahwa seorang laki-laki sedang berdiri tidak jauh di belakang Marsha. Dia memakai cincin yang sama dengan Marsha.
"Setelah 4 tahun, Sha. Kamu memang pemain drama yang hebat." Aku akhirnya bisa mengeluarkannya, setidaknya dua kalimat. Walaupun di dalam sini rasanya sesak.
Aku memang bodoh. Aku sadar dia telah kehilangan kebahagiaannya bersamaku sejak satu tahun terakhir. Dan aku? Aku tidak berusaha memperbaiki apa yang seharusnya kuperbaiki. Hingga saat ini, inilah yang terjadi. Tapi tidak apa. Cincin itu terlihat indah menari di jari manisnya.

Marsha masih terdiam. Dia tidak menjawabku. Tapi aku memang tidak ingin dijawab, karena aku sadar tiap kata yang keluar dari bibir indahnya itu, hanya akan kembali mengirisku.
"Dar, sorry aku..." "kamu hebat, Sha."
Belum sempat ia menjawab, aku kembali melanjutkan kata-kataku.
"Seharusnya aku sadar kalau kita memang tidak muda lagi. Seharusnya aku sadar kalau waktu kita tidak banyak. Seharusnya aku bisa lebih dari ini. Dan seharusnya....." kalimatku terhenti dan digantikan keheningan ya panjang.
Kuatur kembali nafasku. Ingin rasanya aku curahkan semua kepadanya. Namun, ia bukanlah siapa-siapaku lagi. Hingga akhirnya aku telah memiliki cukup kekuatan untuk melanjutkan kalimatku.
"Seharusnya aku menyadarinya. Menyadari bahwa separuh aku telah pergi, bahkan jauh sebelum hari ini." Selesai sudah. Aku belum menemukan rasa bersalah yang terukir diwajahnya. Yang kutemukan adalah rasa iba. Ingin aku berteriak "aku bukan pemulung yang butuh rasa ibamu!" Tepat di depannya. Tapi aku rasa itu tidak mungkin.
"Aku gabisa maksain perasaanku lagi. Aku gak tau kemana hilangnya perasaanku." Itu dia. Skakmat. Tepat saat air mataku menetes, aku tahu bahwa permainan ini telah dimenangkan olehnya.
Di tengah keheningan ini, aku tersadar bahwa kalimat memohon apapun yang kuucap, tidak akan cukup untuk membawanya kembali. Yang bisa kulakukan saat ini untuknya adalah..... berharap yang terbaik untuknya di masa depan.
"Kamu semoga bahagia ya Sha ke depannya." Kataku sambil mengelus kertas tebal yang ada di tanganku. Kertas tebal yang membawaku dan Marsha kepada percakapan ini. Kertas tebal dengan tulisan 'Dylan & Marsha' di depannya.
"Bagaimana denganmu?" Marsha bertanya. Aku tidak bisa membedakannya lagi antara kepedulian atau hanya pertanyaan formalitas.
"Fokuslah kepada kebahagiaanmu. Bagaimana aku kedepannya bukanlah kewajibanmu lagi." Aku mengerti bahwa bersikap tegar adalah cara terbaik untuk keluar dari sini. Walaupun hanya berpura-pura.
"Aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi. Selamat natal yang terakhir dariku, Marsha." Ucapku sambil berlalu. Dan ketika aku membelakanginya, barulah air mataku terjun dengan semangat.
Lucu terkadang. Bahkan ketika kita yakin bahwa manusia hidup selalu berpasang-pasangan, kehidupan akan selalu dengan senang hati menampar kita, dan mengingatkan kita sambil tertawa,
"You're on your own. You have nobody."

Vigilio - How to Be Human Lyrics

  Am D G Em I used to be a boy who grunt every here and there Am D G Masked on for seven days a week Am D G E Tired to div...