“Look at your life like a blank canvas and you're the artist, now go ahead and paint your masterpiece." - Ray Mancini
Perihal Berpisah
Tanganku kembali meraih secangkir kopi hangat di meja setelah menuangkan sebungkus gula dan mengaduknya buru-buru. Aku tidak pernah suka kopi yang sudah dingin, semua orang tahu itu.
"Memangnya, kita ini pacaran untuk apa? Untuk putus?"
Dia mengangkat alisnya sedikit. Tatapannya tetap dingin, seolah ingin mendominasi perasaanku. Aku suka itu.
"Kenapa kamu mikir jauh ke sana? Sedangkan kita masih bisa duduk berhadapan seperti ini,"
"Engga tahu." Aku menatap keluar jendela sembari memandang keramaian kota Jakarta pada jam 6 sore. Jam pulang kerja.
"Aku hanya takut kehilanganmu saja. Setelah 6 bulan bersamamu, rasanya aku tidak pernah ingin lepas darimu. Bagaimana bisa aku menahan diri untuk tidak bersedih jika Tuhan tidak mengijinkan kita untuk tidak bersatu pada akhirnya?"
"Itu urusan Tuhan, bukan kita. Yang menjadi urusan kita adalah bagaimana aku dan kamu saling membahagiakan satu sama lain. Selagi waktu masih mengiyakan."
Dia memandang laptopnya kembali, tidak memandangku sama sekali.
"Kalau aku bukan jodohmu?"
Aku menatap lekat mata cokelatnya. Rambut acak-acakannya berwarna senada di bawah sinar matahari sore.
"Aku akan mencintaimu sepenuh hatiku. Mencintai seseorang tidak harus saat kedua insan bersama, 'kan? Sayang, lihat mataku, bisakah kamu lihat di dalam sana bahwa aku sedang menggengam hatimu erat? Jangan takut, ya? Aku milikmu seutuhnya, dan aku tidak peduli jika takdir tidak setuju denganku."
Bibirnya membentuk senyuman indah yang selalu kunantikan tiap aku bertemu dengannya.
"Kamu kok bisa jadi romantis?"
"Jangan bilang-bilang, ya? Sisi romantisku hanya untukmu!"
Terdengar suara gelak tawa yang berasal darinya.
Kopi di meja sudah dingin, dan aku tidak peduli sama sekali.
—vig x g.m
Aku milikmu seutuhnya—setidaknya untuk saat ini.
#vigiliohouseproject
#arrangedthoughts
PS: saya ganti Pen Name dari 'vhp' jadi 'vig'. Hashtag teteup sama.
Soulscape is a 30 days online writing project held by Jan and her co-partner, Gaby. To join please contact to stardust-glitteryhoe or rainbowsmoke16
#SoulscapeDecember2017
#SoulscapeDay06
Namanya Juga Wanita
Aku tersedak. Secara tiba-tiba manusia-paling-cuek-yang-kebetulan-jadi-pacarku ini berucap manis di saat aku menenggak minumanku.
"Apaan, sih? Sesumbar banget. Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?" Jawabku ketus.
"Enggak apa-apa, mumpung ingat. Eh, kamu kok tiba-tiba keselek gitu?"
AKU KESELEK GARA-GARA KAMU BEGITU MANIS, BODOH! CUEK BOLEH, GOBLOK JANGAN!
"Hmm? Engga kok, gak apa-apa."
-vhp, namanya juga wanita.
#vigiliohouseproject
Yang Lebih Baik
"Carilah laki-laki lain. Aku tak lagi pantas untukmu."
"Tapi, tidak mungkin kan, aku menemukan lagi yang sepertimu?"
"Tidak, tidak. Jangan. Jangan yang seperti aku.
Mungkin, kamu perlu cari laki-laki yang bisa membalas pesanmu setiap sepuluh detik sekali?
Mungkin, kamu perlu laki-laki tampan dan seusiamu, hingga dapat kau banggakan di depan kawanan SMA-mu?
Jangan yang lebih tua ya, aku tak merekomendasi.
Atau bahkan, kalau bisa kau cari yang satu kelas denganmu. Agar kau dapat dengan mudah melepas rindu setiap harinya.
Pokoknya, cari yang belum bekerja! Supaya fokusnya hanya untuk membahagiakanmu seorang.
Mungkin, kamu perlu cari laki-laki yang tidak memiliki masalah dalam keluarganya? Supaya lelakimu itu memiliki mood dan temper yang lebih baik dari aku.
Oh, jangan cari yang anak sulung ya! Supaya ia tak perlu memikirkan adik-adiknya, dan perhatiannya fokus kepadamu.
Cari yang anak baik-baik ya! Kalau bisa bukan perokok, apalagi peminum. Yang seperti itu sudah jelas kan kalau hidupnya rusak.
Jangan cari orang yang mudah stress! Cari saja orang yang fokusnya untuk bersenang-senang.
Cari orang yang dapat dengan mudah kau cintai. Supaya ia tak perlu membuang satu tahunnya berupaya untuk memilikimu.
Dan yang paling penting,
cari orang yang bisa merekahkan senyum manismu lebih daripada aku."
-vhp,
sebuah akhir? (,)
atau
sebuah akhir. (?)
#vigiliohouseproject
Different.
Ia membenamkan kepalanya di pundakku. Air matanya mulai keluar tanpa malu-malu lagi.
"Gak apa-apa. Cowok brengsek kayak dia gak pantes buat lo." Aku akhirnya angkat bicara.
Ia melanjutkan tangisannya. Aku memutuskan untuk diam selama beberapa saat.
"Ayu..," suaranya lirih.
"Ya?"
"Makasih ya selalu ada buat gue. Andai gue seorang lesbian, pasti gue udah cinta mati sama lo."
Aku tersenyum untuk menutupi perasaanku yang seperti tersayat oleh kalimatnya barusan.
Mungkin, 'andai' itu akan selamanya tetap menjadi 'andai'.
Ia tidak tahu.
Bahwa aku diam-diam mencintainya.
-vhp, the forbidden love.
#vigiliohouseproject
The Moon, Sun, and Stars
You're my moon. You still seem to shine even in my darkest day
You're my sun. My morning sunshine. How can I not love the warmness you give? Just like every morning sunshine do.
But oops, I forgot. As being the sun, you're also one of those stars. The way you shine so bright, or the way you stand out of the lonely night, drag me out of my dream.
That you're far away from me.
-vhp, loving you from distances.
#scrivenseptember
#Scrivenseptemberday05
Too bitter
"Kopimu hari ini terlalu pahit, kawan."
Satu kalimat yang menyentakku.
Apa yang salah? Aku melakukan segala sesuatunya dengan baik dan benar! Seperti biasanya!
Aku terpaku dalam diam. Mencoba mengingat apa yang mungkin salah kulakukan.
"Tak apa kawan. Aku tahu harimu buruk."
Bagaimana ia bisa tahu? Memang hari ini tidak berjalan baik untukku. Tapi, apa ia bisa tahu hanya dengan mencicipi kopi buatanku?
"Kau tahu kan, bahwa suatu karya seni adalah representasi aura penciptanya?"
Aku mengangguk pelan.
"Sama halnya dengan lukisan atau musik, kopi bagiku merupakan satu karya seni yang unik."
"Ya, hari yang buruk memang tepat direpresentasikan pada secangkir kopi pahit."
-vhp, a cup of coffee knows.
#scrivenseptember
#scrivenseptemberday1
#scrivenseptemberday01
Inverted POV
"Ah, hilang kemana lagi kawan kecilku yang satu itu?"
batinku kesal, sembari merogoh seisi kantongku.
Bukan yang pertama kali aku disibukkan oleh hilangnya kawan kecilku itu, ketika pasangannya telah menggantung bebas di bibirku.
"Nyari ini?" tanggap sahabatku setengah tertawa, sembari menyerahkan 'kawan kecilku' itu.
"Makasih la." balasku sambil meraihnya, dan kemudian menyalakan rokokku.
Nala. Nama yang tak asing bagiku. Sahabat yang kusayangi lebih dari apapun. Iya, rasa sayangku padanya murni kasih sayang seorang sahabat. Dan kuyakin, ia pun tak berbeda.
Aku angkat bicara.
"La, lu tau gue ngerokok udah 7 tahun lebih. Tapi sama sekali gapernah lu nasehatin gue untuk berhenti, or at least, untuk ngurangin lah. Lu mau gue mati cepet ya?"
Nala hanya menoleh kearahku, sambil mengukirkan senyum tipisnya. Ya Tuhan, mengapa aku tidak bisa menyayanginya lebih dari sekedar sahabat?
"La, gue serius."
Nala akhirnya kembali menoleh kedepan, kembali memperhatikan danau di depannya. Kemudian, masih dengan senyum tipisnya, ia angkat bicara.
"Setiap orang punya caranya sendiri untuk lepas dari rasa sakitnya." ucap Nala, tersenyum.
"Maksudnya?" jawabku bingung.
"Gue kenal lu udah lama. Gue tau rasa sakit lu. Gue juga tau kenapa dulu lu mulai ngerokok."
"Sebagai pelampiasan gue?" jawabku, masih bingung.
"Iya. Gue tau rasa sakit lu waktu itu. Dan gue paham betul rasanya. Sometimes people need things that make them feel better. Even if it destroys them." Nala menambahkan.
"Contohnya narkoba." tambahku, sedikit mengerti.
"Iya. Gue against dengan narkoba. Tapi gue ga memungkiri bahwa narkoba emang bikin nyaman bagi mereka pemakainya. Meskipun itu ngebunuh mereka."
Aku terdiam, tak menyangka perbincangan kita berjalan sejauh ini. Ditengah keheningan, Nala menarik kaos lengan panjangnya, dan memperlihatkan guratan guratan lurus di lengannya. Cukup banyak jumlahnya. Lusinan garis lurus yang sudah berubah warna menjadi coklat, tanda bahwa lukanya sudah mengering.
"Kita gabisa ngerti orang lain sepenuhnya, dan begitu juga sebaliknya. Yang kita punya ya cuma diri sendiri."
Nala memperhatikan lukanya sendiri.
"Kalo mainan lu korek, mainan gue adalah silet. Ironis ya. Gue nyakitin diri sendiri untuk bisa lepas dari rasa sakit yang lain."
Aku masih duduk mematung, tak berani menatap matanya. Meskipun yang kutahu, gadis kuat disebelahku ini, sudah menitikkan air matanya.
"Kita ini udah terlalu jauh. Udah gabisa diobati. Bahkan, untuk minta tolong sama Tuhan pun rasanya malu." ucap Nala, air matanya akhirnya jatuh secara liar.
Aku mendekatkan diri padanya, merangkulnya pelan.
Kurasa kawanku ini benar.
Kita memang manusia 'gila' yang tak dapat dimengerti siapapun.
Baik manusia.
Maupun Tuhan.
-vhp, how it feels like to be us.
#WrittenAugust
#WrittenAugustday25
Vigilio - How to Be Human Lyrics
Am D G Em I used to be a boy who grunt every here and there Am D G Masked on for seven days a week Am D G E Tired to div...
-
Kata orang, kehidupan itu kayak roda yang berputar. Kadang kita berada diatas, ada juga kalanya kita menyentuh titik terbawah dalam kehidupa...
-
Ah cupu nih masa gitar - gitar di Gramedia cuma sebegini doang? gue terus ngeluh aja soalnya gue cari cari gitar bolak-balik gram...
-
Oke, gua mulai gerah karena ga dapet inspirasi. Iye gerah, pasalnya (macem UUD gitu) gua mau bikin soal misteri. konsepnya sih udah dapet, t...