"Tempat ini selalu jadi favoritku, kau tahu?" Ia memandang jauh ke atas. Tatapan manisnya hilang ditelan ribuan bintang yang tersenyum atas ia.
Di tempat ini. Di atas bukit ini. Ketika semua berawal, dan ketika semua mungkin akan berakhir.
"Aku tidak heran, kok. Setiap kali bintang-bintang itu muncul, inilah tempat pertama yang ingin kau kunjungi bersamaku, kan?" kataku menimpali.
"Oh, ngomong-ngomong, satu menit lagi menuju 11:11. Sebaiknya, siapkan permintaanmu!" Tambahku. Aku sudah hafal tentang kegemaran wanitaku yang satu ini.
"Oh, kau benar!" Secepat kilat ia melirik arlojinya. Sedetik kemudian, ia mengatupkan tangan dan memejamkan mata.
Sembari menunggu, aku mengambil sebuah bungkusan berbentuk kotak. Kotak yang amat ia benci, namun aku suka.
Aku mengambil sebatang rokok yang tertata rapi dari dalam kotak tersebut, dan membakarnya.
"Kamu belum berhenti juga?" tanpa kusadari ia telah membuka matanya dan memperhatikanku.
"Yah, kamu bisa lihat sendiri kan? Ngomong-ngomong, apa permintaanmu tadi?"
"Sepele. Aku ingin lebih bahagia saja."
Aku hanya mengangguk. Ada keheningan panjang yang tercipta saat itu sebelum akhirnya ia angkat bicara.
"Kamu benar-benar tidak bisa lepas ya, dari rokok itu?"
Aku tertawa.
"Yah, kamu tahu sendiri, kan? Aku ini memang sudah begini. Sudah gak bisa diapa-apain lagi."
"Maksud kamu, kamu akan selamanya seperti ini, begitu?" ia menaikkan nadanya.
"Memangnya salah kalau aku begini rusaknya?
Memangnya kamu pikir, aku ingin selamanya seperti ini?"
Sungguh dua kalimat pertanyaan yang selamanya akan kusesali. Kendati begitu, ego terus menyemangatiku untuk menghancurkan hatinya.
"Aku ini seonggok sampah, Rani. Sampah itu selamanya tidak akan punya nilai yang berharga bagaimana pun caranya!"
Skakmat. Ego ku menang. Ia menangis.
Tunggu, aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan tubuhku. Aku merasa sesak di dada. Dan aku tahu, sesak ini bukan disebabkan oleh terlalu banyak merokok.
"Kamu tahu? Aku tidak pernah menganggapmu sampah sedikit pun. Aku percaya, setiap manusia punya kesempatan kedua. Aku percaya, setiap manusia punya kesempatan untuk berubah."
Ia kini terisak, namun masih bersusah payah ingin melanjutkan kalimatnya.
"Tapi, terima kasih. Aku kini sadar, bahwa cintaku sia-sia. Hingga tiga menit yang lalu, aku masih percaya, bahwa kamu bukanlah orang yang dulu. Aku masih percaya bahwa aku, kita, hampir sampai."
Aku tersenyum tipis.
"Dan aku merasa aku tak pernah beranjak sedikit pun dari titik nol. Kamu tahu, kurasa permintaanmu mulai dikabulkan. Kurasa ini adalah awal bahagiamu yang tentu saja, bukan bersamaku."
Ah, bodohnya aku. Bagaimana mungkin aku melewati hari tanpanya.
Ah, yang penting, ego ku merasa puas hari ini. Persetan dengan esok hari.
"Cukup! Aku pergi. Terima kasih untuk semuanya." ia menutup perbincangan kami. Perbincangan kami yang terakhir.
Dan setelah itu, aku hanya mengamati langkah kakinya menjauh pergi. Langkah kaki yang pergi dan tidak akan pernah pulang kembali.
-vhp, dan bintang pun menjadi saksi munafik hati bertopeng ego.
#soulscapeday09
#soulscapeday14
#soulscapeday15
#soulscapeday16
#soulscapeday17
“Look at your life like a blank canvas and you're the artist, now go ahead and paint your masterpiece." - Ray Mancini
Subscribe to:
Posts (Atom)
Vigilio - How to Be Human Lyrics
Am D G Em I used to be a boy who grunt every here and there Am D G Masked on for seven days a week Am D G E Tired to div...
-
Kata orang, kehidupan itu kayak roda yang berputar. Kadang kita berada diatas, ada juga kalanya kita menyentuh titik terbawah dalam kehidupa...
-
Ah cupu nih masa gitar - gitar di Gramedia cuma sebegini doang? gue terus ngeluh aja soalnya gue cari cari gitar bolak-balik gram...
-
Oke, gua mulai gerah karena ga dapet inspirasi. Iye gerah, pasalnya (macem UUD gitu) gua mau bikin soal misteri. konsepnya sih udah dapet, t...