Tulisan si Pengecut Untuk Bunga Hatinya

             Masa putih abu-abu. Aku telah banyak mendengar cerita dimana masa-masa SMA ialah masa
yang paling menyenangkan dalam hidup. Masa SMA ialah masa dimana kita mulai mencicipi berbagai macam rasa kehidupan. Ada saat kita jatuh terpuruk, dan kemudian kita belajar untuk bangkit, namun ada kalanya juga kita belajar bersyukur atas apa yang telah kita capai. Bisa saja itu berupa prestasi juara umum, atau menemukan pacar yang ingin kau bawa sampai ke pelaminan, mungkin? Semua orang memiliki cerita soal kehidupan SMA. Tak terkecuali aku, yang memiliki cerita yang akan terus terpatri dalam ingatanku, tentang bagaimana manusia bodoh ini menjadi pengecut selama tiga tahun terakhirnya di bangku sekolah.
Terkadang aku merasa bahwa aku salah dilahirkan di dunia ini sebagai laki-laki. Diibaratkan tumbuhan pun, aku ini hanya putri malu yang tidak berduri. Sudah pemalu, tak punya kelebihan pula. Itulah yang aku rasakan sampai saat ini. Setidaknya, aku berusaha tahu diri, meskipun lebih cenderung rendah diri pada akhirnya.
Aku memang merasakannya. Perasaan ‘aneh’ yang kurasakan saat memandanginya dari kejauhan, memang tak asing lagi di dadaku. Tapi, aku belum sepenuhnya mengerti. Cinta? Atau hanya sebatas kagum? Aku belum bisa menyimpulkannya. Tapi satu yang kutahu saat aku memandanginya, dari kejauhan tentunya. Bahwa dialah bunga hatiku.

Aku pun tidak yakin bahwa dia mengenaliku. Bahkan, bagi dia untuk mengetahui bahwa aku ada saja, aku tidak yakin.  Sosok yang selama ini ada di benakku mungkin terlalu sibuk untuk mengenaliku. Entah sibuk dalam kepengurusan OSIS, atau dalam ekskul fotografi? Oh, mungkin juga sibuk belajar untuk mempertahankan statusnya sebagai juara umum. Dia memang sosok idaman yang penuh bakat. Dan berbicara soal bakat, disinilah aku. Berdiri dibawah bayang-bayang cowok-cowok lain yang memiliki sesuatu untuk dibanggakan di depannya. Selama tiga tahunku mencintainya diam-diam, aku telah banyak melihatnya bersama cowok-cowok itu. Aku pernah melihatnya bergandengan tangan dengan cowok di ekskul fotografi yang sama sepertinya, atau mendengar kalau dia baru saja menerima kapten basket sekolahku sebagai pacarnya. Sedangkan kelebihanku? Ah, Cuma satu kelebihanku. Menyembunyikan perasaanku hingga tak ada seorang pun yang tahu.

Aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta melihat senyumannya saat menerima piala juara umum, meskipun senyumnya tidak ia tujukan padaku. Aku jatuh cinta mendengar suaranya saat kampanye pemilihan ketua OSIS yang baru, meskipun suaranya tidak pernah ia pergunakan untuk berbincang denganku. Dia yang kukenal, adalah dia yang tidak pernah terlihat murung dan selalu membagikan energi positif pada semua orang. Tidak heran jika semua orang menyukainya.
Dan setelah melewati proses belajar selama tiga tahun, akhirnya malam itu tiba. Malam pelepasan. Malam dimana aku akan memberanikan diri untuk bicara padanya. Aku tidak peduli apakah itu hanya sekedar “hai” atau obrolan ringan. Aku tidak peduli bahwa saat nanti akan menjadi kali pertama sekaligus yang terakhir bagiku untuk bicara padanya. Hanya satu yang terpikirkan olehku saat itu. Aku harus berhenti menjadi pengecut.
Ah, aku membenci perasaan ini. Perasaan minderku yang kembali muncul setelah melihatnya. Wanita dengan dress merah melekat di tubuhnya, serta balutan make up yang membuatnya terlihat makin sempurna itu memang tak pernah bosan memikat mata dan hatiku. Selama acara pelepasan berlangsung, mataku hampir tidak pernah berhenti memandanginya, dari kejauhan tentunya, sambil berharap ada tatapan balik yang ia tujukan padaku.
Aku terus menunggu saat yang tepat untuk menghampirinya, di tengah murid-murid yang sedang merayakan kelulusan mereka. Hingga aku menemukan saat itu. Saat acara berakhir dan aula terlihat mulai sepi, aku melihatnya duduk sendiri, terlihat seperti sedang menunggu sesuatu. Inilah saat itu, pikirku. Di tengah segala keraguan yang ada dalam benakku, aku berusaha melawan langkah kakiku yang terasa amat berat saat kuangkat ke depan. Di saat itu, keraguan kembali menguasaiku. “Apakah dia akan mengenaliku?”, “Apakah dia tidak akan terganggu jika aku menghampirinya?” Pergulatan batin yang hebat menahanku berdiri mematung di tempat itu untuk beberapa lama. Pergulatan batin yang menuntunku pada penyesalan. Ya, penyesalan.

Aku memang dapat mengalahkan keraguanku dan kembali melangkahkan kakiku. Namun, sebelum langkah kaki ketigaku menapakkan telapaknya di lantai aula, aku melihatnya kembali dari kejauhan. Melihat tangannya diraih oleh seorang laki-laki dan menuntunnya keluar dari aula. Aku tertegun dalam keheningan. Air mata yang enggan turun dari mata si pengecut yang bodoh ini, seolah malah menertawaiku. Hingga akhirnya aku pun sadar tentang siapa diriku. Senyum tipis namun miris terukir di bibirku. Sembari melihatnya hilang perlahan dari balik pintu aula, aku kembali berpikir. Dia memang pantas mendapatkan yang jauh lebih baik, dibandingkan seorang pengecut yang hanya menumpahkan isi hatinya dalam tulisan, tulisan yang mungkin tidak akan dibaca oleh bunga hatinya.

2 comments:

Vigilio - How to Be Human Lyrics

  Am D G Em I used to be a boy who grunt every here and there Am D G Masked on for seven days a week Am D G E Tired to div...